PRANATA TURUN-TEMURUN TO BUKU; MENGAPA “ALIRI TANGNGA” DIJAGA SEBELUM DITEGAKKAN?

Masyarakat pesisir Desa Buku (To Buku) hidup dan tumbuh dengan adat dan tradisinya, hal ini tercermin dalam berbagai proses aktivitas sehari-hari, entah itu acara sederhana atau acara yang sakral, masyarakat Pesisir Desa Buku (Dusun Buku) selalu menjalankannya dengan aturan/kepercayaan adat yang masih sangat kental.

Salah satu yang paling krusial dan penting untuk menjalankannya dalam aturan adat ialah membangun rumah atau dalam bahasa sehari-hari masyarakat pesisir Desa Buku menyebutnya (Mappakedde’ Sao). Mulai dari bagian terkecil, memahat tiang-tiang ( Ma Pa’ Aliri), Menyusun potongan-potongan dan menyambungkan tiang (Massullu’ Aliri) hingga menegakkan tiang (Mappakedde Aliri) sampai proses terakhir yakni ‘Atte Sao’ (Menaiki Rumah Baru) semua dilaksanakan dalam proses adat yang menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyang masyarakat To Buku (Masyarakat yang mendiami pesisir Desa Buku). Ditambah lagi mayoritas masyarakat Desa Buku masih menggunakan Rumah panggung sebagai tempat tinggal utama, maka dari itu banyak alur dan proses yang dilakukan serta dibumbui adat dalam pelaksanaanya yang menambah khasnya.

Ada proses yang begitu menarik dalam seluruh rangkaian acara membangun rumah dalam adat masyarakat Buku, yakni ‘Majjaga Aliri tangnga’ atau menjaga Tiang Tengah Rumah sebelum ditegakkan.

Setelah disullu’ atau menyambungkan semua bagian-bagian dari rumah panggung yang akan ditegakkan (dipakedde’) keesokan harinya, pada malam hari biasanya masyarakat yang mappakedde’ sao tersebut akan melaksanakan syukuran dan mendoakan keselamatan rumahnya sebelum Aliri (Tiang) Ditegakkan dengan mengundang para sanak keluarga dan tetangga untuk datang. Tuan rumah akan menyediakan berbagai macam kudapan khas untuk menyambut sanak keluarga yang datang.



Setelah acara selesai, Pada saat bapak-bapak selesai menyantap hidangan dan para ibu juga telah selesai dengan tugas membersihkannya, maka anak muda dari keluarga tuan rumah akan diminta untuk begadang dan menjaga Aliri tangnga (Tiang tengah Rumah) sebelum keesokan harinya ditegakkan.

Aliri tangnga adalah benda paling sakral dalam pembentukan rumah menurut kepercayaan To Buku itu sendiri. Berdasarkan adat, ia adalah tiang paling spesial dalam konstruksi pembangunan rumah. Aliri tangnga (Tiang Tengah Rumah ) adalah tiang pokok, Dalam proses rangkaiannya sebelum ditegakkan Aliri Tangnga (Tiang tengah rumah) diberi hiasan berupa makanan-makanan pokok yang, sehat, segar dan masih muda seperti jagung, pisang dan lain-lainnya. Hal ini melambangkan secara simbolis Bahwa harapannya Si Tuan Rumah dalam menempati rumah barunya senantiasa sehat, bugar, kuat penuh energi, berkah setiap langkah dan rejekinya dalam menempati rumah barunya seperti implementasi dari tanaman pada Aliri Tangnga tersebut.

Lalu, mengapa ‘Aliri Tangnga’ mesti dijaga sebelum ditegakkan?

Hal ini menjadi aturan yang lumayan ketat dari para sesepuh adat masyarakat To Buku apabila dalam membangun rumahnya memakai tata tertib adat maka begadang untuk menjaga tiang tengah rumah mesti dilakukan.

Ini merupakan kepercayaan yang masih dijaga dari turun temurun oleh anak cucu dari sesepuh adat To Buku, bahwa pada zaman dahulu, ketika wilayah Desa Buku masih berbentuk sebuah kampung adat belum bersistem pemerintahan, apabila tidak dijaga akan ada seseorang yang iri dan dengki terhadap pencapaiannya membangun sebuah rumah baru maka segala macam ilmu hitam akan dipakai untuk membuat Si Tuan Rumah menderita dalam menempati rumah barunya dan sasaran dari ilmu hitam itu adalah ‘Aliri Tangnga’ tersebut. Biasanya orang yang memiliki ilmu hitam tersebut akan beraksi pada tengah malam untuk menaburkan serbuk atau tanah di sekitar ‘Aliri Tangnga’ Si Tuan Rumah, untuk itulah pada zaman dulu akan ada beberapa anak muda yang akan menjaganya.

Selanjutnya aturan adat yang kedua adalah, Aliri Tangnga tersebut sangat tidak dianjurkan atau tidak boleh sama sekali dilalui atau dilangkahi kucing karena menurut keyakinan para sesepuh bahwa kucing ini adalah pembawa sial dan setelah dilangkahi kucing maka akan berdampak kesialan pada sang pemilik rumah ketika menempatinya hingga dimasa-masa yang akan datang. Aturan ini pun tidak berlaku untuk hewan lain.

Kedua aturan adat tersebut masih dilaksanakan dari beberapa generasi hingga sekarang, apalagi yang sedang membangun rumah adalah keturunan langsung dari pemimpin adat To Buku pada masanya.

Apabila dikaitkan dengan relevansi zaman sekarang yang hidupnya sudah tidak terdoktrin dengan mitos-mitos fiksi zaman dahulu, memang sudah agak ketinggalan jauh tetapi masyarakat To Buku yang tumbuh dan berkembang dengan adat, segala macam tradisi adalah harta dan merawatnya mesti seumur hidup. Pun pada hakikatnya tidak ada kewajiban untuk melasanakan dan tidak ada larangan untuk mengabaikan.

Aturan adat untuk masyarakat To Buku saat ini ialah warisan kekayaan, jika pun nanti pada akhirnya ada pro kontra opini panjang lebar untuk generasi milenial, pada akhirnya mereka akan sampai pada sebuah titik yakni penghargaan dan pembelajaran. Penghargaan untuk para nenek moyang juga pembelajaran untuk kemajuan berpikir mereka.


Sumber Penuturan lisan : Muni’, (Iye’ Muni) salah satu keturunan Pabbijaga Buku, Nurlina, salah satu Keturunan Pemimpin adat To buku, Hanabia, salah satu keturunan Kali Buku ( Tokoh Agama).


#DesaBuku #Budaya #Adat #Tradisi

Tinggalkan komentar